![]() |
Sumber: Facebook Boy Candra Lambhae |
Kerumunan
manusia duduk bersila (paseba) melingkari jergen bernoda. Ada gelas dan saringan teh
teriringi cerita menjelajahi samudera salah seorang manusia. Rupanya, seorang Rantau
baru saja pulang dari tanah nan jauh. Berbagi pengalaman mendaki gunung
kehidupan ke teman-teman lama di kampung halaman.
Tumpahan
air kuning dari bibir jergen berulang kali memenuhi gelas. Habis ke gelas diterusi
ke mulut-mulut manusia secara bergantian sampai jergen kosong tak tersisa. “Ini
uang, tambah lagi lima liter.” Seru sang Rantau kepada salah seorang Dinda (adik-adik
di kampung). Mengobat rindu di kampung halaman, tak afdol bila tak ditemani
tegukan air kuning. Sebuah kredo yang mendogma setiap pikiran perantau sepulang dari pengembaraanya. Rupiah hasil
keringat pengembaraan tak segan dikorbankan untuk memuaskan hasrat dahaga yang
rindu akan rasa itu—rasa khas dari Kameko.
Kameko,
sebuah penamaan minuman tradisional masyarakat Muna. Diproduksi dari sadapan
pohon aren. Takdirnya memiliki rasa manis sesuai arti namanya. Akibat kreasi brilian
dari segelintir manusia, Kameko
menjelma menjadi produk memabukan yang meninggalkan kemanisannya. Dan bagi seorang
Rantau yang doyan minuman beralkohol, pulang kampung tak sekedar kesempatan berjumpa keluarga dan teman
lama tetapi adalah kesempatan emas merasakan kembali Kameko.
Kemeko
kerap disanksi sebagai biang penyakit masyarakat. Tak jarang, orang bertikai di
keramaian karenanya. Dalam urusan rumah tangga, Kameko juga mendalangi munculnya KDRT. Ya, namanya alkohol bila
dikonsumsi hingga melenyapkan kesadaran akibatnya banyak timbul aktivitas kriminal.
Di sisi lain, Kameko pula dianggap sebagai
penyelamat kantung rupiah. Banyak sarjana dan TNI lahir dari tanah Muna berkat
biaya hasil dari penjualan Kameko.
Tapi
bagi seorang Rantau, sebagai penyelemat atau penyakit tak menjadi soal. Kameko akan selalu jadi pilihan pelepas
rindu. Untuk berkumpul bersama teman kampung yang telah lama di tinggal jauh.
Bercerita tentang kehidupan hingga kantung rupiah mulai lapar. Baginya, uang
bisa di cari, tapi tidak untuk kebersamaan—sangat jarang
terjadi. Waktunya di kampung halaman hanya sesaat. Selepas itu, selalu kembali
dan betah di tanah rantau sebab di sanalah ladang rupiah untuknya. Terlebih di
sana tak ada Kameko. Jadi “Mari
Minum Sampe Puas Pisa” Ungkap sang Rantau.
#Komarobheano
Posting Komentar