KUMPULAN TULISAN MUDA-MUDI MAROBEA

KUMPULAN TULISAN MUDA-MUDI MAROBEA

Kamboseku Sedikit Lagi Tinggal Cerita

Kambose kapusu

Indonesia memiliki banyak kekayan kuliner berbanding lurus dengan jumlah sukunya. Setiap suku memiliki makanan khas/tradisional yang menjadi makanan pokok selain dari nasi. Ini sekaligus menjadi identitas tersendiri dalam berbagai variatif suku bangsa Indonesia. Seperti suku Buton memiliki makanan tradisional "kasuami", suku Tolaki punya "sinonggi", suku Muna "kambose" sebagai makanan khasnya. Dan masih banyak lagi jenis makanan tradisional yang ada di Indonesia bila kita mau sebutkan satu persatu.

Saya disini akan menyoroti makanan khas suku saya yaitu "kambose", sedangkan yang lain silakan tanya sama suku yag bersangkutan untuk mengenalnya lebih jauh. Disini  bukan saya diskrimintif namun memang saya tidak tau cara penyajianya, saya hanya tau nama dan tempat asalnya. Lanjut dari pembahasan yang akan dijadikan titik fokus, yaitu makanan khas suku Muna, “kambose”.

Kambose asal mulanya dari jagung yang direbus dengan air, setelah mendidih ditaburkan kapur sirih ("ghefi" istilah dalam bahasa Muna). Tujuan dari  ghefi ini untuk menghaluskan tekstur jagung. Lalu dibiarkan airnya kering, setelah itu ditambahkan air kembali dan dilanjutkan direbus ulang selama 20-30 menit. Bila proses memasak selesai, sebelum disajikan kambose dicuci terlebih dahulu sebanyak dua atau tiga kali untuk menghilangkan kadar ghefi-nya, lalu ditiriskan hingga “kambose” siap untuk disantap.

Namun bila menyantap kambose tidak afdol rasanya bila tidak dipadukan dengan “kadada katembe”-nya  (sayur bening), serta “katunu no kaondo” (ikan  kering bakar) atau biasa juga kaondo diganti dengan “kapinda” (ikan pindang). Terlepas dari itu, syarat untuk makan “kambose” dibutuhkan gigi yang kuat, karna bentuk biji jagung yang semula tidak mengalami perubahan, hanya saja jagung jadi lunak setelah direbus. Namun tetap saja membutuhkan gigi yang kuat dan rahang kokoh untuk mengunyah setiap biji kambuse yang masuk dalam mulut. Mungkin inilah salah satu faktor pendukung kenapa orang muna memiliki rahang yang kuat, karna selain makan, sekaligus melakukan olahraga rahang untuk mengunyah tiap butir “kambuse” demi mebuatnya hancur dan halus sehingga bisa dicerna dengan baik oleh lambung.

Lantas bagaimna para usia senja bila ingin makan “kambose” tapi rahang sudah rapuh bahkan tidak memiliki gigi/ompong. Ini bisa dicarikan alternatif yaitu dengann cara ditumbuk dalam lesung hingga gepeng. Kalau tidakk ditumbuk, kambuse juga bisa dicacah dengan cara digiling pakai mesin manual ("kagili" istilahnya dalam bahasa muna).

Dengan alasan di atas kenapa dulu orang Muna identik dengan rajin dan kuat dalam bekerja. Bagaimana tidak ,untuk mengisi perut yang keroncongan saja, harus lebih dulu mengeluarkan tenaga ekstra—mengucah “kambuse”— saat proses makan berlangsung. Terlebih lagi bagi mereka yang makan  kambose dengan metode lain, di tumbuk  ataupun di giling menggunakan peralatan masing masing. Memerlukan sisa sisa energi, untuk mengayul ganggang mesin manual (kagili) dengan cara di putar tiga ratus enampuluh derajat  menggunakan  tangan. Jumlah putaran sesuai dengan porsi kantung lambung, semakin banyak porsi makan, maka semakin banyak pula kambose yang dihaluskan, begitu pun sebaliknya. Sedangkan penghalusan kambose dengan cara ditumbuk tidak jauh berbeda dengan digiling cuman berbeda perlakuan yang di berikan karna berbeda alat tapi pada intinya tenaga lebih sangat di perlukan.

Namun dengan alasan paragraf di atas ini  juga,  bisa jadi pemicu atau bomerang untuk memarginalkan “kambuse” dan beralih ke yang lebih praktis. Siap saji tanpa memerlukan banyak tenaga terlebih dahulu saat menyiapkan dan mengonsumsinya. Bahkan  perlahan namun  pasti di era sekarang ini “kambose” sudah jarang mengeram dalam panci masyarakat Muna. Apa lagi perlengkapan  penghalus “kambose” sudah jarang dijumpai di rumah-rumah orang Muna. Ada pun kalau dijumpai sama halnya sebagai benda antic, hanya jadi pajangan saja tapi jarang di operasikan.

Cerita di atas berangkat dari fenomena yang terjadi di kampung saya, desa Marobe, Kecamatan Sawerigadi, Kabupaten Muna Barat (MuBar), Provinsi Sulawesi Tenggara (SulTra). Padahal dulu bagi masyarakat kampungku, “kambose” adalah makanan pokok sedang nasi hanya menjadi selingan saja. Namun kenyatan sekarang berbanding terbalik dengan keadan dulu. Bahkan sekarang sebagian besar masyarakat setempat sudah tidak lagi doyan makan “kambose”. Bahkan lebih ironis lagi sebagia orang itu tidak mau  sama sekali mengonsumsi— makanan khasnya—“kambuse”.

Di era moderenisasi  atau sering dikata sebagai era milenial, hal tersebut tidak bisa terhindarkan ,lambat laun akan digilas oleh pertukaran zaman. Dan di masa mendatang “kambose” sebagai makanan khas Muna akan tinggal cerita. Bahkan bisa jadi dongeng sebagai pengantar tidur anak cucu orang Muna kelak.

#Realy

Share this:

2 komentar :

 
Copyright © PENA MAROBEA. Designed by OddThemes & Best Wordpress Themes 2018