KUMPULAN TULISAN MUDA-MUDI MAROBEA

KUMPULAN TULISAN MUDA-MUDI MAROBEA

Kisah Keakraban Dibawah Langit Malam (Camping) Dengan Sang Dosen

Sumber : https://www.deviantart.com

sang pendekar R (Rusli)

Pendekar R bukanlah sosok yang bisa di sepelekan. Latihan berat telah di tekuninya dengan sabar. Tidak lain almarhum ayahnya yang membuatnya begitu. Lazimnya anak kecil bermain (nando nopo kalambugho harabu), pendekar R justru harus menembus hutan lebat penuh rotan, sambil memikul jeriken kameko (sejenis minuman keras dari pohon aren). Iya kameko, orang di kampung perlu mabuk, dan ada tetes keringat perjuangan pendekar R di setiap teguknya. Sebenarnya tidak perlu sesulit itu untuk mengantar kameko dari gunung ke kampung. Pendekar R bisa saja menempuh jalan stapak, tetapi itu tidak di perbolehkan ayahnya. Alasannya, polisi sering lewat jalur tersebut dan pendekar R tidak boleh tertangkap, apalagi dengan bukti 20 liter kameko, usaha keluarga bisa gulung tikar, penduduk bisa kehilangan nikmat mabuk dan pendekar R akan gagal tugas dan latihan. Begitu dotrin ayah yang sekaligus pelatihnya.

Soal kerasnya latihan pendekar R dalam sentuhan tangan dingin almarhum bapaknya, ternyata membuat ibu pendekar R  iba. Sedih rasanya setiap melihat anak-anak kecilnya tibah dirumah dengan jeriken kameko dan luka sayatan rotan yang masih segar, bukan hidup seperti itu yang di harapkan ibu pada anak-anaknya dimasa depan. Derita batin sang ibu berakhir saat sang ayah meninggal dunia, ibunya seperti berbahagia dan tidak perlu sedih lagi, latihan akhirnya selesai.
Pendekar R akhirnya kuliah
Bermodal beasiswa dan skill gunting rambut pendekar R pun menuju kota. Ilmu pengetahuan di perguruan tinggi memanggilnya. Rutinitas masa lalunya yang habiskan di kebun di tinggalkan, namun memberi corak dalam aktivitasnya di bangku perkuliahan. Pendekar R jarang masuk kelas, nilai ujian rendah, mata kuliah tercecer tapi selalu aktif terlibat dalam setiap kegiatan mahasiswa, begitulah hidup si pendekar R menjalani perannya sebagai mahasiswa. Kerasnya kehidupan kampung turut pula melatih keberanian sang pendekar. Kalau Cuma gerombolan babi hutan yang panik, kawan kera-kera nakal atau ular phyton yang licik, sudah bukan perkara serius baginya. Bermodal dengan pengalaman itu yang membuatnya cukup berani bergiat di kampus. Meski begitu, pendekar R seorang  terlatih, merupakan sosok yang santun, rendah hati, adil dan beradab.

Di alam terbuka

Keberadaan pendekar seorang mahasiswa yang akhirnya mempertemukan dengan sang dosen. Suatu perkara serius membuat mereka akrab adalah camping. Iya…camping itu hal serius. Derajat keseriusannya, ya karena tidak semua orang suka dan bisa. Dosen suka camping dan pendekr R rindu dengan alam terbuka, sungguh kombinasi yang sempurna. Sudah lama memang pendekar R tidak tidur di bawah langit malam, disergap anjing hutan dan menggigil kedinginan atau yang lebih di rindukannya lagi yakni membuat perapian. Kali ini pendekar berkesempatan dan istimewanya ia bersama dosennya, dosen yang dua mata kuliahnya ia sedang ikuti. Camping dengan dosen, di alam terbuka, seperti kembali berlatih, tapi kali ini dengan pelatih yang baru danlebih ilmiah, begitu perasaan sang pendekar. Dosennya pun maklum, meskipun harus mengabaikan absensi pendekar yang sudah kehabisan alasan untuk tidak hadir.pertama izin, kedua sakit, yang ketiga sakit lagi tapi tanpa keterangan, yangkeempat kalinya tidak hadir disusul dengan pesan singkat, “pak mohon maaf, saya sakit lagi”. Pendekar sakit? Tentu mustahil, dia tidak akan sakit, kecuali harus mati.

Kembali ke perkara serius soal camping. Suatu waktu mereka berkemahdi padang rumput, angin sangat tajam menusuk dengan dinginnya. Perapian pertama yang di buat pendekar R tinggal menyisakan abu sementara malam masih panjang. Dosen dan pendekar R pun berkeliling mencari kayu api unggun menggunakan sepeda motor. Dasar padang rumput, tidak ada yang lain selain rumput dan kotoran sapi. Mau tak mau mereka harus bergerak agak jauh ke batas vegetasi pepohonan yang dekat dengan perkuburan. Pendekar tak tahu di situ adalah perkuburan, dan rasanya dia tidak peduli. Ketemulah salah satu pohon kering yang masih tegak berdiri. Rasanya butuh usaha yang tidak sedikit agar pohon ini tumbang, meski sudah mati. Tapi bagi pendekar R itu sepele, ia pun mencobahnya. Dua tiga kali dorongan, pohon itu mulai goyang. Terus menerus dengan banyak cara pendekar mengusahakannya. Ditendang, didorong dan akhirnya pendekar mengambil ancang-ancang berlari. Praaaak…! Dengan sekali tendangan nyaris terbang, pohon itu rebah, pendekar memperhatikan jurusnya. Karuan saja dosennya pun takjub, tanpa tajam pohon kering tadi rebah.

Tapi….

Belum semenit pohon itu tumbang, tiba-tiba suara cekikikan (kabuna) terdengar jelas dan mendekat. Cekikikan menyerupai burung itu terulang dan mulai mengintari. Pendekar merespon, sadar sebagai pelaku keributan di tepi hutan, ia bergegas naik ke atas motor, meninggalkan batang kayu tadi. Dosen tahu suara “burung” itu tapi sang pendekar lebih tahu bahwa itu bukan burung. Dosen tahu pendekar kaget, ia kaget karena terlalu memalukan jikadianggap takut. Motor pun di paksa berjalan pelan, tidak boleh ngebut seperti ketakutan, dua gensi sedang beradu. Betul-betul gensi. Diatas motor yang pelan perasaan dibuntuti pun menguat. Pendekar yang tidak mau menoleh kebelakang mengeluarkan jurus pamungkas. Mulutnya komat kamit mengeluarkan bunyi, terdengar namun tidak jelas meski bibir pendekar seperti sudah di balik telingah dosennya. Duduk pendekar tenang tapi rapat. Sudah tidak gensi lagi.. jurus terakhir yang dikeluarkan pendekar adalah yang adil dan beradab itu ternyata takut hantu.

Selepas situasi genting mencekam, dosen memberanikan bertanya kepada pendekar. Apa yang kisanak baca tadi? Oh.. itu baca alfaatihah, dan doa-doa lain. Memangnya “ítu”  tadi apa? Hmmmmmm…. Tidak usah saya jelaskan pak, tutup pendekar. Sehebat apapun, jurus terbaik adalah Doa.

_selesai_

Penulis : muhamad Rusli
Editor  : muhammad isa ramadhan S.Pd, M.Pd.

Share this:

Posting Komentar

 
Copyright © PENA MAROBEA. Designed by OddThemes & Best Wordpress Themes 2018