KUMPULAN TULISAN MUDA-MUDI MAROBEA

KUMPULAN TULISAN MUDA-MUDI MAROBEA

Latest Updates

Mau Kameko Gratis, Ber-Kantorana Sudah

November 06, 2018
 Sumber ilustrasi : banyumasmembaca.wordpress.com

Daratan Muna sangat terkenal dengan minuman tradisionalnya. Minuman tradisonal beralkohol, rupanya berwarna agak kuning pucat.  Itulah kameko. Pada dasarnya tidak memabukan, tapi karena sudah dikreasi sedemikian baik oleh orang Muna akhirnya mengandung alkohol lebih.

Minuman ini diproduksi dari sadapan tandan bunga jantan pohon enau. Tidak sembarang orang yang mampu memproduksi kameko, hanya orang-orang tertentu saja yang menyanggupinya. Dan orang-orang yang sanggup ini, orang Muna menyebut mereka sebagai Pakebha alias tukang sadap kameko.

Biasanya pengambilan  kameko dari pohonya dilakukan dua kali sehari, yaitu pada pagi hari dan sore hari. Sehingga ada istilah beken Air Pagi dan Air Sore. Air pagi untuk menyebut kameko yang disadap pada pagi hari. Kameko yang disadap sorenya dinamakan Air Sore.

Kameko sendiri sudah diwariskan secara turun temurun dari generasi ke generasi masyarakat Muna. Hadirnya minuman ala modern seperti vodka dan sejenisnya pun tak sanggup mengikis eksistensi kameko di kalangan masyarakat Muna.

Kameko sangat laku di pasaran, tak ayal pemroduksiannya  dimasalkan untuk menyanggupi permintaan pasar lokal. Harga per jegennya (5 liter) variatif, berkisar antara Rp. 5.000 hingga Rp. 20.000. Satu tandan bunga jantan pohon enau biasanya dapat menghasilkan10 liter per harinya5 liter Air Pagi dan 5 liter Air Sore. Terkadang dalam satu pohon itu, terdapat satu atau lebih tandan yang dapat disadap. Semakin banyak tandan dan pohon yang disadap semakin banyak pula kameko yang dapat dihasilkan.

Pundi-pundi rupiah banyak dihasilkan dari penjualan kameko. Dan ini sangat membatu masyarakat Muna terkhusus si Pakebha dalam memenuhi kebutuhan sehari hari. Ada penghasilan tambahan selain dari hasil kebun. Bahkan banyak sarjana, polisi,  dan TNI lahir dari tanah Muna berkat jasa kameko.

Mau minum kameko gratis ? Kameko gratis bisa saja kita peroleh. Terdapat kebiasan unik yang dapat dicoba bila ingin mengkonsumsi kameko tanpa harus mengeluarkan rupiah sepeser pun. Caranya, mengunjungi langsung si Pakebha di TKP (Tempat Kameko Produksi), lebih tepat menunggui si Pakebha di bawah pohon enau tempat sadapannya. Dalam istilah Muna-nya  di sebut dengan  “Kantorana”, kita dapat ber-kantorana  syaratnya asal kita sudah memiliki kedekatan emosinal dengan si Pekebha. Kantorana Suatu kebiasan yang unik secara ekonomi merugikan si Pakebha ? Tapi itulah faktanya, kantorana masih langgeng hingga kini.

Harus dicatat, kantorana ini biasanya hanya bisa dilakukan pada sore hari saja, sebab kalau Air Pagi khusus untuk diperjual belikan.  Selain itu kantorana ini memiliki aturan main tersendiri yaitu jumlah kameko yang disajikan untuk konsumsi secara gratis dibatasi. Jadi bila anda ingin minum kameko secara gratis jangan telat datang, takutnya tidak kebagian jatah. Tidak salah lagi, yang gratis-gratis pasti akan diborongi orang.

Kadangkala juga para pencandu miras khususnya kameko, nanggung bila hanya mengkonsumsi jatah kantorana. Jadi tidak jarang pengunjung yang ber-kantorana apabila kehabisan jatah kantorana terpaksa minta tambah kepada si Pakebha tapi sudah harus dibarter dengan rupiah.

Entah mulai kapan kebiasan ini di lakuakan, tidak ada catatan sejarah yang menjelaskan. Dalam kegiatan kantoran diselingi dengan perbincangan hangat, mulai dari cerita pengalaman,  adat, gossip, curhat, ngelawak, berdebat kusir namun di akhir cerita menjadi teler. Terlepas dari itu ikatan kekeluargan menjadi subur lantaran intensitas  perjumpan yang sering di agenda sore hari bahkan sampai larut malam.

Kebiasaan ini masih eksis sampai sekarang. Bahkan menjadi strategi  bagi pencandu kameko dikala rupiah lagi kosong. Namun irosnisnya kantorana ini sudah beralih tempat. Dulunya perjamuannya dibawah pohon enau, sekarang tak canggung-canggung kantorana sudah mulai dilangsungkan di kediaman si Pakebha. Tak jarang kawula muda banyak ikut nimbrung dalam kegiatan tersebut. Padahal  dulu kebiasan hanya dilakukan oleh para usia senja. Sekedar untuk mengobati rasa lelah usai melakukan aktivistas seharian di kebun. 

#Realy

Kamboseku Sedikit Lagi Tinggal Cerita

Oktober 16, 2018
Kambose kapusu

Indonesia memiliki banyak kekayan kuliner berbanding lurus dengan jumlah sukunya. Setiap suku memiliki makanan khas/tradisional yang menjadi makanan pokok selain dari nasi. Ini sekaligus menjadi identitas tersendiri dalam berbagai variatif suku bangsa Indonesia. Seperti suku Buton memiliki makanan tradisional "kasuami", suku Tolaki punya "sinonggi", suku Muna "kambose" sebagai makanan khasnya. Dan masih banyak lagi jenis makanan tradisional yang ada di Indonesia bila kita mau sebutkan satu persatu.

Saya disini akan menyoroti makanan khas suku saya yaitu "kambose", sedangkan yang lain silakan tanya sama suku yag bersangkutan untuk mengenalnya lebih jauh. Disini  bukan saya diskrimintif namun memang saya tidak tau cara penyajianya, saya hanya tau nama dan tempat asalnya. Lanjut dari pembahasan yang akan dijadikan titik fokus, yaitu makanan khas suku Muna, “kambose”.

Kambose asal mulanya dari jagung yang direbus dengan air, setelah mendidih ditaburkan kapur sirih ("ghefi" istilah dalam bahasa Muna). Tujuan dari  ghefi ini untuk menghaluskan tekstur jagung. Lalu dibiarkan airnya kering, setelah itu ditambahkan air kembali dan dilanjutkan direbus ulang selama 20-30 menit. Bila proses memasak selesai, sebelum disajikan kambose dicuci terlebih dahulu sebanyak dua atau tiga kali untuk menghilangkan kadar ghefi-nya, lalu ditiriskan hingga “kambose” siap untuk disantap.

Namun bila menyantap kambose tidak afdol rasanya bila tidak dipadukan dengan “kadada katembe”-nya  (sayur bening), serta “katunu no kaondo” (ikan  kering bakar) atau biasa juga kaondo diganti dengan “kapinda” (ikan pindang). Terlepas dari itu, syarat untuk makan “kambose” dibutuhkan gigi yang kuat, karna bentuk biji jagung yang semula tidak mengalami perubahan, hanya saja jagung jadi lunak setelah direbus. Namun tetap saja membutuhkan gigi yang kuat dan rahang kokoh untuk mengunyah setiap biji kambuse yang masuk dalam mulut. Mungkin inilah salah satu faktor pendukung kenapa orang muna memiliki rahang yang kuat, karna selain makan, sekaligus melakukan olahraga rahang untuk mengunyah tiap butir “kambuse” demi mebuatnya hancur dan halus sehingga bisa dicerna dengan baik oleh lambung.

Lantas bagaimna para usia senja bila ingin makan “kambose” tapi rahang sudah rapuh bahkan tidak memiliki gigi/ompong. Ini bisa dicarikan alternatif yaitu dengann cara ditumbuk dalam lesung hingga gepeng. Kalau tidakk ditumbuk, kambuse juga bisa dicacah dengan cara digiling pakai mesin manual ("kagili" istilahnya dalam bahasa muna).

Dengan alasan di atas kenapa dulu orang Muna identik dengan rajin dan kuat dalam bekerja. Bagaimana tidak ,untuk mengisi perut yang keroncongan saja, harus lebih dulu mengeluarkan tenaga ekstra—mengucah “kambuse”— saat proses makan berlangsung. Terlebih lagi bagi mereka yang makan  kambose dengan metode lain, di tumbuk  ataupun di giling menggunakan peralatan masing masing. Memerlukan sisa sisa energi, untuk mengayul ganggang mesin manual (kagili) dengan cara di putar tiga ratus enampuluh derajat  menggunakan  tangan. Jumlah putaran sesuai dengan porsi kantung lambung, semakin banyak porsi makan, maka semakin banyak pula kambose yang dihaluskan, begitu pun sebaliknya. Sedangkan penghalusan kambose dengan cara ditumbuk tidak jauh berbeda dengan digiling cuman berbeda perlakuan yang di berikan karna berbeda alat tapi pada intinya tenaga lebih sangat di perlukan.

Namun dengan alasan paragraf di atas ini  juga,  bisa jadi pemicu atau bomerang untuk memarginalkan “kambuse” dan beralih ke yang lebih praktis. Siap saji tanpa memerlukan banyak tenaga terlebih dahulu saat menyiapkan dan mengonsumsinya. Bahkan  perlahan namun  pasti di era sekarang ini “kambose” sudah jarang mengeram dalam panci masyarakat Muna. Apa lagi perlengkapan  penghalus “kambose” sudah jarang dijumpai di rumah-rumah orang Muna. Ada pun kalau dijumpai sama halnya sebagai benda antic, hanya jadi pajangan saja tapi jarang di operasikan.

Cerita di atas berangkat dari fenomena yang terjadi di kampung saya, desa Marobe, Kecamatan Sawerigadi, Kabupaten Muna Barat (MuBar), Provinsi Sulawesi Tenggara (SulTra). Padahal dulu bagi masyarakat kampungku, “kambose” adalah makanan pokok sedang nasi hanya menjadi selingan saja. Namun kenyatan sekarang berbanding terbalik dengan keadan dulu. Bahkan sekarang sebagian besar masyarakat setempat sudah tidak lagi doyan makan “kambose”. Bahkan lebih ironis lagi sebagia orang itu tidak mau  sama sekali mengonsumsi— makanan khasnya—“kambuse”.

Di era moderenisasi  atau sering dikata sebagai era milenial, hal tersebut tidak bisa terhindarkan ,lambat laun akan digilas oleh pertukaran zaman. Dan di masa mendatang “kambose” sebagai makanan khas Muna akan tinggal cerita. Bahkan bisa jadi dongeng sebagai pengantar tidur anak cucu orang Muna kelak.

#Realy

Kisah Keakraban Dibawah Langit Malam (Camping) Dengan Sang Dosen

Oktober 15, 2018
Sumber : https://www.deviantart.com

sang pendekar R (Rusli)

Pendekar R bukanlah sosok yang bisa di sepelekan. Latihan berat telah di tekuninya dengan sabar. Tidak lain almarhum ayahnya yang membuatnya begitu. Lazimnya anak kecil bermain (nando nopo kalambugho harabu), pendekar R justru harus menembus hutan lebat penuh rotan, sambil memikul jeriken kameko (sejenis minuman keras dari pohon aren). Iya kameko, orang di kampung perlu mabuk, dan ada tetes keringat perjuangan pendekar R di setiap teguknya. Sebenarnya tidak perlu sesulit itu untuk mengantar kameko dari gunung ke kampung. Pendekar R bisa saja menempuh jalan stapak, tetapi itu tidak di perbolehkan ayahnya. Alasannya, polisi sering lewat jalur tersebut dan pendekar R tidak boleh tertangkap, apalagi dengan bukti 20 liter kameko, usaha keluarga bisa gulung tikar, penduduk bisa kehilangan nikmat mabuk dan pendekar R akan gagal tugas dan latihan. Begitu dotrin ayah yang sekaligus pelatihnya.

Soal kerasnya latihan pendekar R dalam sentuhan tangan dingin almarhum bapaknya, ternyata membuat ibu pendekar R  iba. Sedih rasanya setiap melihat anak-anak kecilnya tibah dirumah dengan jeriken kameko dan luka sayatan rotan yang masih segar, bukan hidup seperti itu yang di harapkan ibu pada anak-anaknya dimasa depan. Derita batin sang ibu berakhir saat sang ayah meninggal dunia, ibunya seperti berbahagia dan tidak perlu sedih lagi, latihan akhirnya selesai.
Pendekar R akhirnya kuliah
Bermodal beasiswa dan skill gunting rambut pendekar R pun menuju kota. Ilmu pengetahuan di perguruan tinggi memanggilnya. Rutinitas masa lalunya yang habiskan di kebun di tinggalkan, namun memberi corak dalam aktivitasnya di bangku perkuliahan. Pendekar R jarang masuk kelas, nilai ujian rendah, mata kuliah tercecer tapi selalu aktif terlibat dalam setiap kegiatan mahasiswa, begitulah hidup si pendekar R menjalani perannya sebagai mahasiswa. Kerasnya kehidupan kampung turut pula melatih keberanian sang pendekar. Kalau Cuma gerombolan babi hutan yang panik, kawan kera-kera nakal atau ular phyton yang licik, sudah bukan perkara serius baginya. Bermodal dengan pengalaman itu yang membuatnya cukup berani bergiat di kampus. Meski begitu, pendekar R seorang  terlatih, merupakan sosok yang santun, rendah hati, adil dan beradab.

Di alam terbuka

Keberadaan pendekar seorang mahasiswa yang akhirnya mempertemukan dengan sang dosen. Suatu perkara serius membuat mereka akrab adalah camping. Iya…camping itu hal serius. Derajat keseriusannya, ya karena tidak semua orang suka dan bisa. Dosen suka camping dan pendekr R rindu dengan alam terbuka, sungguh kombinasi yang sempurna. Sudah lama memang pendekar R tidak tidur di bawah langit malam, disergap anjing hutan dan menggigil kedinginan atau yang lebih di rindukannya lagi yakni membuat perapian. Kali ini pendekar berkesempatan dan istimewanya ia bersama dosennya, dosen yang dua mata kuliahnya ia sedang ikuti. Camping dengan dosen, di alam terbuka, seperti kembali berlatih, tapi kali ini dengan pelatih yang baru danlebih ilmiah, begitu perasaan sang pendekar. Dosennya pun maklum, meskipun harus mengabaikan absensi pendekar yang sudah kehabisan alasan untuk tidak hadir.pertama izin, kedua sakit, yang ketiga sakit lagi tapi tanpa keterangan, yangkeempat kalinya tidak hadir disusul dengan pesan singkat, “pak mohon maaf, saya sakit lagi”. Pendekar sakit? Tentu mustahil, dia tidak akan sakit, kecuali harus mati.

Kembali ke perkara serius soal camping. Suatu waktu mereka berkemahdi padang rumput, angin sangat tajam menusuk dengan dinginnya. Perapian pertama yang di buat pendekar R tinggal menyisakan abu sementara malam masih panjang. Dosen dan pendekar R pun berkeliling mencari kayu api unggun menggunakan sepeda motor. Dasar padang rumput, tidak ada yang lain selain rumput dan kotoran sapi. Mau tak mau mereka harus bergerak agak jauh ke batas vegetasi pepohonan yang dekat dengan perkuburan. Pendekar tak tahu di situ adalah perkuburan, dan rasanya dia tidak peduli. Ketemulah salah satu pohon kering yang masih tegak berdiri. Rasanya butuh usaha yang tidak sedikit agar pohon ini tumbang, meski sudah mati. Tapi bagi pendekar R itu sepele, ia pun mencobahnya. Dua tiga kali dorongan, pohon itu mulai goyang. Terus menerus dengan banyak cara pendekar mengusahakannya. Ditendang, didorong dan akhirnya pendekar mengambil ancang-ancang berlari. Praaaak…! Dengan sekali tendangan nyaris terbang, pohon itu rebah, pendekar memperhatikan jurusnya. Karuan saja dosennya pun takjub, tanpa tajam pohon kering tadi rebah.

Tapi….

Belum semenit pohon itu tumbang, tiba-tiba suara cekikikan (kabuna) terdengar jelas dan mendekat. Cekikikan menyerupai burung itu terulang dan mulai mengintari. Pendekar merespon, sadar sebagai pelaku keributan di tepi hutan, ia bergegas naik ke atas motor, meninggalkan batang kayu tadi. Dosen tahu suara “burung” itu tapi sang pendekar lebih tahu bahwa itu bukan burung. Dosen tahu pendekar kaget, ia kaget karena terlalu memalukan jikadianggap takut. Motor pun di paksa berjalan pelan, tidak boleh ngebut seperti ketakutan, dua gensi sedang beradu. Betul-betul gensi. Diatas motor yang pelan perasaan dibuntuti pun menguat. Pendekar yang tidak mau menoleh kebelakang mengeluarkan jurus pamungkas. Mulutnya komat kamit mengeluarkan bunyi, terdengar namun tidak jelas meski bibir pendekar seperti sudah di balik telingah dosennya. Duduk pendekar tenang tapi rapat. Sudah tidak gensi lagi.. jurus terakhir yang dikeluarkan pendekar adalah yang adil dan beradab itu ternyata takut hantu.

Selepas situasi genting mencekam, dosen memberanikan bertanya kepada pendekar. Apa yang kisanak baca tadi? Oh.. itu baca alfaatihah, dan doa-doa lain. Memangnya “ítu”  tadi apa? Hmmmmmm…. Tidak usah saya jelaskan pak, tutup pendekar. Sehebat apapun, jurus terbaik adalah Doa.

_selesai_

Penulis : muhamad Rusli
Editor  : muhammad isa ramadhan S.Pd, M.Pd.

Rumah Muda Yang Terpaksa Tua

Oktober 09, 2018
Sumber Foto : Fadjar Hadi/Kumparan


Rumah muda yang terpaksa tua. Bukan ditelan waktu, bukan dihantam bencana. Rumah ini masih berdiri perkasa. Keelokannya bila dipandang dari luar tak kalah dari rumah tetangga. Rumah ini rumahku. Rumah yang hanya berisi manusia di kala aku kembali ke kampung halaman. Rumah yang dibangun atas cinta Tuan pemilik untuk keluarganya. Belum lama jadi, sudah ditinggal pergi Tuannya.

Debu dan sarang laba-laba merdeka. Bebas memilih di sudut mana saja mereka ingin menempel dan merekat. Padahal saat Sang Tuan masih menjadi raja di rumah ini,  debu dan sarang laba-laba tak pernah digdaya dari amukan sapu dan lap Sang Tuan.

Sang Tuan pergi. Aku keluarganya belum sempat berguru bagaimana menjadi raja di rumah ini. Sebab aku masih sibuk menambang ilmu di tanah nan jauh.  Pulang menjenguk rumah ini hanya di saat senggang kegiatan tambangku.

Di awal-awal penambanganku saat beranjak pergi meninggalkan rumah,  pasti keluar kata: "Aku pergi dulu." Ucapku pada Sang Tuan pemilik rumah. Sekarang tidak. Tak ada lagi tuan yang akan mendengar ucap itu.

#Komarobheano

KAMEKO

Oktober 03, 2018
Sumber : Facebook Evendi Ahmad

Air pagi dan air sore. Ya, sebuah istilah yang mungkin hanya orang dikampungku yang tau. Kalian mungkin mengetahuinya tetapi dengan sebutan yang berbeda. Kameko, begitulah kami mengenalnya. Cairan yang dihasilkan dari sadapan pohon yang tumbuh liar di kampungku, kami menyebutnya dengan kowala. Kalian mungkin lebih mengenalnya dengan sebutan pohon enau.

Kameko, disebut air pagi jika diambil pada pagi hari dan pula sebaliknya. Disebut air sore jika diambil pada sore hari. Kalian mungkin menyebutnya aneh, saya bilang itu unik. Air kameko ini begitu manis. Terlebih lagi jika diminum dipagi hari ketika baru saja di ambil dari pohonnya, begitu sejuk. Kalian akan ketagihan jika sudah mencicipinya. Sedikit berlebihan, tapi sperti itulah faktanya.

Di kampungku, kameko dikenal sebagai minuman beralkohol. Ya, kalian tidak salah dengar, kameko memang memabukan. Tapi, kameko menjadi minuman memabukan jika sudah dicampur dengan serbuk batang kayu. Kami menyebutnya "buli". Dari kayu itulah kameko berubah menjadi minuman yang memabukkan.

Dikampungku, kameko diproduksi secara masal. Mungkin sedikit berlebihan, tetapi seperti itulah adanya. Hampir semua orang tau cara menghasilkan kameko dari pohon enau. Dikampungku, kameko dijadikan komoditi jual beli. Ya, kameko diperdagangkan secara bebas. Banyak orang menggandrunginya, mulai dari orang tua sampai bocah bocah yang ingin dikenal "bisa". 

Kameko sudah menjadi bagian dari masyarakat. Kalian hampir bisa menukannya disetiap aktivitas kemasyaraktan. Mulai dari panen hasil perkebunan sampai dengan acara pernikahan, kalian bisa meliahat jirgen jirgen kameko. Dikampungku, kameko sudah seperti suplemen penambah tenaga. Dikampungku, gotong royong masih sangat kental. Tidak perlu uang, cukup dengan menyiapkan kameko.

Kalian pasti tidak asing dengan gula merah. Bahkan mungkin kalian sering mongkonsumsinya. Tapi taukah kalian jika gula merah yang kalian konsumsi berasal dari kameko ini. Ya, gula merah adalah hasil fermentasi dari kameko. Jika kalian penasaran dengan rasanya, tidak jauh dari rasa gula merah.

Kameko, cairan manis dari pohon kowala. Cairan yang banyak akan manfaat. Tapi, tidak bisa dipungkiri, kameko juga membawa mudarat. Jadi semua tergantung orangnya. Terserah siapa yang memegang pisaunya, mau menjadi koki yang hebat, atau pembunuh yang laknat.

#Ikhdat
 
Copyright © PENA MAROBEA. Designed by OddThemes & Best Wordpress Themes 2018