![]() |
Sumber : https://statis.dakwatuna.com |
Tak terhitung berapa
banyak keluhan kita terhadap negeri ini. Kritik kritik tajam yang hanya sampai
di obrolan warung kopi. Persekusi dilakukan terhadap para pelaku demonstrasi.
Mereka yang meneriakkan hak hak rakyat dalam negeri, hanya dianggap suara
bising yang tak berarti.
Itu dulu. Zaman
sekarang, protes terhadap birokrasi tidaklah harus melalui orasi. Kita bisa
membuat puisi, atau tulisan seperti yang dilakukan para pendiri. Tengoklah
sekarang, bagaimana tulisan tulisan media yang begitu indah bisa digunakan
untuk membolak balikan fakta. Tulisan begitu ditakuti. Pastilah kita mengingat
bagaimana birokrasi begitu takut dengan hasil sebuah literasi. Mereka begitu
takut, sampai menekankan bahwa itu hanyalah sebuah fiksi. Tulisan laksana
pedang yang bisa mencakup semua kalangan.
Tak ingatkah kita,
tokoh tokoh terdahulu yang coretan coretan pena-nya sangat membakar semangat.
Hitler, yang dikenal sebagai diktator paling kejam, bahkan menulis buku saat di
dalam penjara. Buku berjudul Mein Kempf (perjuanganku) yang membuat Jerman
bangkit dari keterpurukan akibat kekalahan di perang dunia pertama. Tan Malaka
yang keluar masuk penjara karena tulisannya yang terus mengkritik pemerintahan
kolonial belanda yang takut dengan karya-nya. Bapak proklamator kita, Bung
Karno, yang menulis pledoi yang diberi judul Indonesia Menggugat dari balik
jeruji penjara. Mereka semua melawan dengan pena. Dengan coretan coretan bermakna
yang ditakuti para lawannya. Jika kita mau membawa perubahan buat negeri, mau
berbuat seauatu buat negeri, menulislah.
#Ikhdat
Posting Komentar